Entri Populer

Rabu, 04 Januari 2017

Catatan Awal Tahun Dana Desa 2017


BESARAN Dana Desa (DD) 2017 yang diterima oleh desa-desa di Indonesia meningkat. Pada tahun 2016 lalu, Pemerintah Pusat mengalokasikan DD dari APBN sebesar Rp 46,7 triliun untuk sebanyak 74.000 desa se-Indonesia. Tahun 2017 atau tahun ketiga implementasi UU Desa, besaranya meningkat menjadi Rp 60 triliun. Bila dirata-rata, penerimaan desa meningkat Rp 200 juta, dari Rp 600 juta per desa pada 2016 menjadi Rp 800 juta per desa pada 2017 ini.

Sebagai contoh, di Kabupaten Banyumas, desa yang mendapat alokasi tertinggi DD 2017 adalah Desa Watuagung, Kecamatan Tambak dengan nominal Rp 1,035 Miliar. Perbedaan pagu DD ini diantaranya ditentukan karena luas wilayah, jumlah penduduk, dan tingkat kemiskinan.
Anggaran DD ini menjadi salah satu pendapatan desa dari kelompok transfer.

Selain DD, masih ada pos dana transfer lain, yakni Alokasi Dana Desa (ADD) yang besarannya rata-rata desa di Jawa Tengah menerima Rp 400 juta per desa pada 2016 lalu. Transfer DD dan ADD dari pemerintah ini menambah besar pos pendapatan desa dalam APBDesa yang rata-rata antara Rp 1-2 miliar. Belum lagi ditambah dengan pos pendapatan dari pendapatan asli desa (PAdes) dan pendapatan bagi hasil pajak-retribusi daerah untuk desa yang terus meningkat. Bila pengelolaan BUMDesa berhasil, maka besaran pos bagi hasil dari profit BUM Desa akan menambah kuat postur pendapatan dalam APBDesa.

Besarnya pendapatan dalam APBDes digunakan untuk penyelenggaraan empat bidang kewenangan pemerintahan desa, yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Dalam tulisan ini, saya ingin memfokuskan pada pengalokasian DD 2017 yang sesuai Permendesa dan PDT Nomor 22 Tahun 2016 diprioritaskan untuk Bidang Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Desa.

Pada tulisan ini saya juga ingin mengoreksi tulisan Opini berjudul 'Resolusi Implementasi DD 2017' karya penulis Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran Desa yang dimuat di koran Suara Merdeka, Jumat 30 Desember 2016. Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu dikoreksi:

1. Penulis beranggapan bahwa penggunaan DD dan ADD sama-sama digunakan untuk membiayai 30 persen biaya penyelenggaraan pemerintahan desa. (paragraf 6).

Menurut hemat saya, penggunaan DD dan ADD sangat berbeda. DD sesuai Permendesa PDT Nomor 22 Tahun 2016 diprioritaskan untuk Bidang Pembangunan dan Bidang Pemberdayaan, sedangkan ADD digunakan untuk pembayaran siltap dan tunjangan, maupun pembiayaan lain terkait operasionaal pemerintahan desa.

2. Penulis mencampurkan penggunaan DD dan ADD untuk membiayai pembangunan fisik di desa dengan alasan indikator/tolok ukur capaian keberhasialan lebih terukur. (Paragraf 3)

Selain itu, penulis juga menyebutkan partisipasi masyarakatan dalam proses perencanaan dan pengawasan DD 2016 masih rendah dan kurang substansi. Misalnya dengan menyebut tidak efektifnya musdes dan musrenbandes yang seolah hanya bersifat formalitas dan terjadinya korupsi akibat lemahnya pengawasan dari masyarakat.

Penulis di antaranya membandingkan implementasi PNPM 2007-2014 dengan UU Desa yang menjadi dasar pemberlakukan DD.

Dalam tulisan tersebut saya juga bersepakat beberapa hal :

1. Perluanya penguatan peran pengawasan dari masyarakat dan lembaga desa untuk mencegah korupsi bersumber dari APBDesa.

2. Masyarakat dan lembaga desa didorong untuk aktif dalam proses perencanaan seperti sejak musdus usulan rencana kegiatan pemerintah (RKP) desa, penyusunan RKP Desa melalui wakil di tim ganjil, dan penetapan musdes dalam penetapan Perdes RKP dan APBDes melalui wakil-wakil masyarakat dalam BPD. Dalam hal ini peran BPD turut perlu diperkuat dengan mengerti dengan tugas dan fungsi BPD.

3. Pelaku pembangunan di desa peru menjadikan pengalaman pengelolaan DD dua tahun sebelumnya agar lebih optimal dalam mendorong pembangunan di desa. Diharapkan dengan cara ini, tujuan implementasi UU Desa agar desa lebih mandiri, sejahtera, dan demokrtais bisa bertahap tercapai. (**)

Tidak ada komentar: