Entri Populer

Senin, 31 Oktober 2016

Yuk Intip Kelas Paling Kompak di Pratugas Pendamping Desa Jateng 2016


MASA pratugas Pendamping Desa terbilang cukup lama. 12 hari. Kadang pelatihan rata-rata ya antara tiga hari hingga satu pekan. Rasa kangen karena jauh dari anak dan istri serta keluarga begitu membuncah selama pelatihan. Tentu jadi hal yang lumrah.

Bersyukur hari-hari pratugas di kelas kami terasa menyenangkan. Tidak lain karena suasana belajar di kelas yang interaktif sehingga tidak membosankan. Bayangkan, selama pratugas kami harus melahap 12 pokok bahasan yang diajarkan dari jam 08.00 pagi hingga jam 05.00 sore. Oya, kami berada di kelas 1 Hotel Quest Semarang. Di kelas juga diorganisir dengan dipilih pengurus kelas yakni Ketua Kelas Bapak Nuriman (Brebes), Sekretaris Mbak I Wulan (Boyolali), serta time keeper Ahsin dan Lutful.

Di kelas kami tercatat ada 32 nama peserta pratugas. Namun empat orang tak pernah hadir. Jadi tercatat ada 28 peserta dari beberapa kabupaten se-Jawa Tengah. Selama pratugas, materi disampaikan oleh tiga orang Tenaga Ahli (TA) yang mumpuni, yakni Sumirat Cahyo Widodo (TA PD Kab. Grobogan), Apriyanto (TA PP Kab. Semarang), dan Sunarlan (TA ID Kab. Sukoharjo). Ketiganya mampu membawakan materi dengan baik, yang banyak diselingi guyon jadi kami tidak ngantuk atau bosan.

Selain itu, suasana akrab juga terjalin antarpeserta pratugas. Meski hampir seluruh peserta baru saling mengenal dan baru pertama kali bertemu di Semarang tapi pertemanan bisa segera terbangun. Guyon bareng, kongkow bareng sering dilakukan baik saat sesi istirahat atau usai pelatihan kala malam hari.

Salah satu acara keakraban di kelas kami adalah 'jalan bareng'.  Barangkali selama 8 hari pelatihan, baru kelas kami yang pergi bareng-bareng satu kelas. Tujuan kami adalah ke kompleks Tugu Muda. Bagitu sampai di parkiran Museum Mandala Bakti tiba-tiba turun hujan. Menunggu hujan reda, kami singgah di warung angkringan D'Museum. Di tempat ini, kami bergembira melupakan berbagai rasa jenuh dan bosan dengan cara bernyanyi dan joged. Yang bosan makanan di hotel, juga banyak yang menikmati nasi dan hidangan ala angkringan. Setelah hujan reda, kami sempatkan membuat foto bersama dan kembali ke hotel karena waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Semoga rasa kebersamaan yang terbangun dalam pratugas ini akan dibawa hingga kembali ke kabupaten masing-masing. Sebagai kenangan, berikut foto-foto dalam pratugas






Berikut nama para calon Pendamping Desa di kelas 1 : Ahsin Sofi (grobogan), Bambang Yuli Setyo (Sukoharjo), Indi Tsamul Fuad (Batang), Hanan Wiyoko (Banyumas), Muh Najib Azis (Demak), Muh Arif Sholihan (Magelang), Eko Budiarto (Klaten), Nuriman (Brebes), Yono Setiyono (Pemalang), Muh Sobir (Kebumen), Pambudi Nugraha (Purworejo), Saiful Arif Rokhman Setiawan (Demak), Muh Lutful Mazidul Khahir (Tegal), Eko Mulyanto Sumirat (Kebumen), Hendra Widodo (Demak), Roman Sugito (Banyumas), Arif Wahyudi (Rembang), M Ali Burhanudin (Tegal), Arif Widodo (Sukoharjo), Adip Rochani (Temanggung), Farit Sakroni (Banjarnegara), Pujiana (Karanganyar), Nur Khasanah (Purworejo), Khanafi Harun (Magelang), I Wulandari Saptaningrum (Boyolali), Sugesti Sri Linuwih (Sukoharjo), Anik Astuti (Cilacap), dan Putri Adi Kumalasari (Magelang). 

Yuk simak video Keakraban kelas Pratugas kami...kereeeen lo

Minggu, 30 Oktober 2016

Dirjen PPMD Bagikan Tips Kerja Pendamping Desa



DIREKTUR Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kemendesa PDT dan Trasmigrasi, Profesor Ahmad Erani Yustika mengingatkan, bagi para calon Pendamping Desa yang tidak siap bekerja keras membangun desa untuk segera balik kanan alias mengundurkan diri. Menurutnya, sebagai Man of Mission dituntut memberikan segala kemampuan bagi pembangunan desa dan peningkatan kualitas pemerintahan desa.

"Yang hadir disini sudah mengambil pilihan yang sama untuk mengubah nasib satu kaum di desa. Tugas kalian sebagai Man of Mission, bagaimana cara mengubah cerita kekalahan desa menjadi kemenangan desa. Kalian harus mampu melampaui diri sendiri," kata Prof Erani memotivasi tiga ratusan peserta Pratugas Pendamping Desa di Quest Hotel, Semarang, Sabtu (29/10) siang.

Soal 'kekalahan desa', ia menceritakan adanya banyak masalah di desa. Dia menyebut adanya kesenjangan ekonomi dan ketimpangan penguasaan tanah. Aset ekonomi dan tanah di desa banyak dikuasi oleh pemodal, yang notebene bukan asli desa setempat. Yang membuat prihatin adalah soal ketimpangan kepemilikan lahan. Dirjen Erani menyebut kesenjangan kepemilikan tanah cukup tinggi mencapai 0,71 (dari skala 0-1).

"Jumlah dua persen penduduk diketahui menguasai 56 persen kepemilikan lahan di Indonesia. Ini sangat mengerikan karenanya korbannya ya desa. Dari sekitar 25 ribu desa hutan di Indonesia, rata-rata tak memiliki akses pada hutan," katanya.

Tips ala Dirjen

Menurutnya, tugas pendamping sangat penting dan strategis. Ia meminta agar Pendamping Desa yang tersebar dari kabupaten, kecamatan, dan desa  benar-benar optimal bekerja. Ia membagikan tiga tips semangat kerja Pendamping Desa.

"Jangan pernah mau bekerja sekadar mengisi ruang yang diberikan. Sebisa mungkin membuat ruang (berkreasi) tanpa menabrak aturan," katanya yang berbicara didampingi Satker PMD Bapermasdes Prov Jawa Tengah, Joko Mulyono.

Tips kedua menurutnya, Pendamping Desa dituntut melakukan optimalisasi diri. Terlebih dalam konsep pendampingan, para Pendamping Desa bukahlah pelaksana teknis pembangunan melainkan mendampingi pelaku pemberdayaan lokal dan menguatkan peran pemerintahan desa dan lembaga desa.

Kemudian tips ketiga menurut Dirjen Erani adalah bangun relasi. "Jangan menganggap tugas pendampingan di desa itu dilakukan sendiri. Perlu kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya seperti masyarakat sipil, perguruan tinggi, pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi juga," katanya.

Erani yang memberikan sambutan kemudian berpamitan dengan para peserta dengan kata penutup yang mengena ke hati para Pendamping Desa.

"Indonesia akan berjaya bukan karena nyala obor di Jakarta, namun Indonesia berjaya karena nyala lilin-lilin di desa," kata Erani mengutip kata mutiara dari Bung Hatta. 

Mari kita nyalakan lilin-lilin itu kawans. (**)

SALAM MERDESA

Sabtu, 29 Oktober 2016

Ini Jawaban Dirjen PPMD Soal Dana Desa dan Gaji 2017

Dirjen PPMD Kemendesa hadir dalam Pratugas PD Prov Jateng 2016
DIREKTUR Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kemendesa PDT dan Trasmigrasi, Profesor Ahmad Erani Yustika memastikan alokasi Dana Desa (DD) aman. Pernyataan ini disampaikan Erani menanggapi adanya penghematan anggaran di sejumlah kementerian/lembaga negara.

"Dana Desa tak tersentuh. Termasuk sudah saya pastikan untuk pembayaran gaji tahun 2017 aman, namun perlu dikawal terus menerus," kata Profesor Erani di depan ratusan peserta Pratugas Pendamping Desa (PD) Provinsi Jawa Tengah di Quest Hotel, Semarang, Sabtu (29/10).

Mengutip detik.com, pemerintah memangkas anggaran belanja dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 133,8 triliun. Pemangkasan ini mencakup anggara belanja ke daerah Rp 68,8 triliun. Berdasarkan data Kemenkeu ada 15 kantor/lembaga yang dipangkas, termasuk Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi dipotong Rp 2,08 Triliun. Penghematan ini dikhawatirkan mengurangi besaran dana desa maupun gaji pendamping desa.


"Tidak adanya pemotongan anggaran (dana desa) ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk membangun desa betul-betul serius. Harapannya negara makin besar, sehat, dan kukuh," katanya didampingi Satuan Kerja PMD Bapermasdes Prov Jawa Tengah, Joko Mulyono.

Ia menambahkan, soal gaji Pendamping Desa menurutnya sudah layak bahkan dinilai di atas rata-rata gaji yang diterimakan lulusan yang sederajat. Ia membandingkankan, lulusan SMA biasanya rata-rata digaji Rp 1,4 juta per bulan. Kemudian untuk lulusan D3 Rp 2,1 juta per bulan, dan lulusan S1 rata-rata digaji Rp 2,4 juta per bulan. 

Man of Mission

Kepada para pendamping desa yang mengikuti pratugas, Dirjen Erani berpesan agar mengisi pengetahuan dan meningkatkan kualitas masyarakat desa bersama perangkat desa. Menurutnya, dengan adanya UU Desa, dewa memiliki kewenangan besar untuk membangun namun tanpa adanya pendampingan malah bisa membuat tidak tepat sasaran.

"Otoritas tidak diimbangi dengan kapasitas akan menimbulkan malapetaka," tegasnya.

Selain itu, Prof Erani yang hadir selama 45 menit ini juga menegaskan peran pendamping desa sangat mulia tapi juga berat. Menurutnya pendamping desa harus mampu menggerakan kesadaran masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam pembangunan.

"Pendamping Desa adalah man of mission. Tugasnya mengubah nasib suatu kaum di desa. Berikan yang terbaik untuk masyarakat," harapnya. Prof Erani menutup pemaparannya dengan kata-kata yang indah mengutip pendiri bangsa Muh. Hata.

"Indonesia akan berjaya bukan karena nyala obor di Jakarta, namun Indonesia berjaya karena nyala lilin-lilin di desa," Sungguh, mengena di hati. (**)

Jumat, 28 Oktober 2016

Apa Wong Cilik Bisa Nikmati Dana Desa?



Apakah Dana Desa yang ratusan juta rupiah tiap desa itu bermanfaat bagi wong cilik di desa? Kira-kira itu yang ingin saya tulis.

KEMISKINAN dan kesenjangan sosial di desa diharapkan terkikis. Kehadiran Pendamping Desa dituntut tak sekadar mengawal dana desa semata, tapi bisa memberi sentuhan pembangunan di desa. Pendamping desa dituntut peka dan jeli melakukan rekayasa sosial khususnya pada kelompok termarginal.

Hal ini juga diamanatkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamatkan agar pembangunan desa menyentuh kelompok termarginal.  Pemerintah Desa tidak bolah lalai. Pastikan ada usulan kegiatan yang didanai dana desa mewakili kelompok marginal desa. Bila selama ini, kelompok terpinggirkan ini tak tersentuh pembangunan, maka lewat UU Desa kesenjangan untuk pemenuhan kebutuhan dasar diharapkan bisa terpenuhi. Negara ingin membangun dari pinggiran.

Apa contoh kelompok termarginal di desa?

Barangkali kita mengamati, di desa ada kelompok yang selama ini jarang atau dibatasi mengakses kebutuhan dasarnya : pendidikan, pelayanan kesehatan, keamanan, dan pengakuan. Masuk dalam kelompok ini misalnya, penyandang disabilitas, kelompok perempuan/ibu rumah tangga, kelompok miskin, remaja putus sekolah, warga butuh huruf, kelompok pengangguran dan lainnya.

Selama ini, barangkali mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan dan pembangunan. Jangankan dilibatkan, diundang dalam musyawarah desa (musdes) pun tidak. Ini saatnya, pendamping desa untuk bisa menyentuh kelompok termarginal untuk aktif dalam kegiatan pembangunan desa. Karena itu, UU Desa patut penulis sebut pro poor atau pro kemiskinan : mendukung upaya pengentasan kemiskinan dengan melibatkan dalam pembangunan desa.

“Pendamping Desa dituntut peka dan jeli membaca kondisi sosial di desa. Harus mampu melakukan inklusi sosial atau rekayasa sosial,” kata Sunarlan, Tenaga Ahli Kabupaten Grobogan yang menjadi pemateri Inklusi Sosial di kelas kami.

Tindakan konkret yang dapat dilakukan seorang pendamping desa antaralain dengan melibatkan perwakilan kelompok marginal desa dalam proses Musdes, memastikan usulan atau aspirasi pembangunan untuk kelompok marginal masuk dalam prioritas pembangunan, menciptakan program/kegiatan yang dapat memberdayakan kelompok marginal, dan bentuk rekayasa sosial lain.

“Harapannya mereka jadi lebih berdaya,” kata Sumirat Cahyo, Tenaga Ahli dari Kabupaten Rembang yang juga menjadi pemateri.


Dengan adanya campur tangan Pendamping Desa diharapkan pembangunan dapat lebih merata. Masyarakat marginal juga mendapat tempat dan akses yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih jauh, kelompok marginal bisa berdaya yang diharapkan memutus kesenjangan dan rantai kemiskinan. Bentuk inklusi sosial lewat UU Desa juga mencerminkan kehadiran Negara untuk ‘ngawuli wong cilik’ yang ada di desa. Dan, Pendamping Desa adalah representasi dari kehadiran Negara di desa. (**)

SALAM MERDESA
*tulisan ini saya endapkan dari sesi Pratugas Pendamping Desa Jateng 2016.

Foto-foto Pratugas Pendamping Desa Jateng 2016


Pratugas Pendamping Desa Provinsi Jawa Tengah 2016 diikuti sebanyak 399 orang. Kegiatan dilakukan di dua lokasi, yakni Quest Hotel dan Hotel Semesta, Semarang. Proses pembelajaran kemudian dibagi dalam setiap kelas.

Saya mendapat jatah belajar di kelas 1 Quest Hotel. Di kelas ini ada 32 nama calon pendamping, namun yang datang 28 orang. Pelatih di kelas kami ada tiga orang yakni Apriyanto (Tenaga Ahli/TA-PP Kab. Semarang), Sumirat Cahyo (TA-PED Kab. Grobogan), dan Sunarlan (TA-ID Kab. Sukoharjo).

Suasana pembelajaran di kelas kami terkesan tidak membosankan. Pemateri sering melemparkan pertanyaan untuk diskusi. Berikut foto-foto kegiatan pelatihan pratugas.



Foto bersama peserta pratugas kelas 1

Pemateri memandu jalannya diskusi

Suasana diskusi per kelompok

Hasil diskusi dituliskan di plano

Peserta menyampaikan hasil diskusi


Doktor Sutoro Eko, penggagas UU Desa menggugah kesadaran kritis para TA dan PD


Pemateri kelas 1 : Apriyanto (Semarang), Sumirat Cahyo (Rembang), dan Sunarlan (Grobogan)


Peserta kelas 1 : Ahsin Sofi (grobogan), Bambang Yuli Setyo (Sukoharjo), Indi Tsamul Fuad (Batang), Hanan Wiyoko (Banyumas), Muh Najib Azis (Demak), Muh Arif Sholihan (Magelang), Eko Budiarto (Klaten), Nuriman (Brebes), Yono Setiyono (Pemalang), Muh Sobir (Kebumen), Pambudi Nugraha (Purworejo), Saiful Arif Rokhman Setiawan (Demak), Muh Lutful Mazidul Khahir (Tegal), Eko Mulyanto Sumirat (Kebumen), Hendra Widodo (Demak), Roman Sugito (Banyumas), Arif Wahyudi (Rembang), M Ali Burhanudin (Tegal), Arif Widodo (Sukoharjo), Adip Rochani (Temanggung), Farit Sakroni (Banjarnegara), Pujiana (Karanganyar), Nur Khasanah (Purworejo), Khanafi Harun (Magelang), I Wulandari Saptaningrum (Boyolali), Sugesti Sri Linuwih (Sukoharjo), Anik Astuti (Cilacap), dan Putri Adi Kumalasari (Magelang). 

Kamis, 27 Oktober 2016

Semangat Saemaul Undong dalam Pendampingan Desa



PERUBAHAN adalah keniscayaan. Tidak ada yang tidak bisa berubah. Semua bisa diubah, bisa ditingkatkan. Misalnya, dari kurang baik menjadi baik, dan menjadi lebih baik baik lagi. Meskipun itu sulit atau berat, percayalah untuk hal baik pasti bisa!.

Asa ini yang saya coba tanamkan sebagai seorang Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP). Tugas sebagai PDP tidaklah ringan, harus mampu menjadi motor pengerak masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan desa. Sekaligus mengawal dana desa agar tepat sasaran. Di luar sana banyak yang menunggu kehadiran pendamping desa turun, tapi di sisi lain masih ada yang meragukan kemampuan korps ini.

Pelajaran dari Korsel

Tenaga pendamping desa lahir dari UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamanatkan perlunya hal itu. Keberadaan pendamping desa (beserta Pendamping Lokal Desa dan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) menjadi sebuah gerakan pendampingan untuk menjadikan ‘Desa Baru’ Indonesia yang Mandiri, Kuat, dan Demokratis. Proses ini dikenal dengan nama Berdesa.

Lahirnya UU Desa ini membawa semangat dan harapan baru pembanguan desa. Hal mendasar adalah Negara mengakui dan menghargai eksistensi desa. Pengakuan ini membuat desa memiliki kewenangan penuh untuk membangun desa. Dorongan untuk membangun desa ini seperti yang terjadi di Korea Selatan lewat gerakan Saemaul Undong.

Seperti dikutip dari KOMPAS (27/10), disebutkan Saemaul Undong  dirintis pertama kali tahun 1970 oleh mendiang Presiden Park Chung-hee. Hebatnya, gerakan membangun desa ini masih berlanjut hingga kini dengan jumlah anggota aktif mencapai dua juta orang. Secara harafiah, Saemaul Undong  diterjemahkan sebagai ‘desa baru’ yang bertujuan memberantas kemskinan dan memajukan masyarakat lewat pembangunan desa. Persis seperti apa yang sedang dilakukan di negara kita setelah lahirnya UU Desa, dua tahun berjalan.

Ketika Saemaul Undong dimulai kondisi ekonomi Korsel kira-kira seperti Indonesia. Pendapatan per kapita hanya 90 dollar AS. Sekitar 70 persen rakyat desa di Korsel yang bertani tidak mampu menghidupi diri sendiri, apalagi keluarga. Untuk makan sekali sehari saja sangat sulit. Anak-anak tidak bersekolah karena harus membantu orangtua bekerja.

Presiden Park mencanangkan gerakan baru, Saemaul Undong bagi rakyat desa guna membangkitkan energi rakyat yang terpuruk dan mendorong kemajuan desa. Secara konkret, pemerintah membagikan 355 kantung zak semen. Kemudian desa penerima memutuskan sendiri akan digunakan untuk apa semen-semen tersebut. Sebagaian besar desa menggunakan semen bantuan untuk pembangunan infrastruktur pembangunan jalan desa yang kala itu kondisinya sangat buruk.

Awalnya, rakyat skeptis. Mereka menduga, pemberian bantuan semen untuk mengalihkan isu kelaparan yang tengah mendera. Perlahan hasilnya mulai terlihat setelah 10 tahun. Jalan yang bagus dan infrastruktur yang mendukung membuat penghasilan petani bertambah. Mesin pertanian mulai masuk ke desa. Petani mulai bisa membeli televisi dan mobil dari jerih payah bertani.

Mulai tahun 1980-an, Korsel bukan lagi negara miskin. Negara ini bahkan bisa menjadi salah satu dari empat negara Asia yang maju. Pada kurun waktu ini, gerakan Saemaul Undong mulai memfokuskan kampanye ‘keramahan, kebersihan, dan ketertiban’. Hasilnya kemudian terasa, ketiga sikap ini seolah sudah menjadi bagian dari diri orang Korsel. Itu kisah di Korsel, bagaiamana di Indonesia?

Kondisi Indonesia

Gerakan Saemul Undong turut menginsipirasi pembangunan desa di Indonesia. Bila di Korsel, pemerintah membagikan bantuan zak semen, pemerintah negara kita memberikan bantuan uang. Jumlahnya besar dari setengah miliar mencapai hampir satu miliar tiap desanya. Uang bantuan tersebut boleh digunakan untuk membiayai pembangunan di desa dan kebutuhan masyarakat desa yang menjadi kewenangan pemerintah desa. Lahirnya UU Desa memberikan kewenangan desa untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta kerjasama antar desa degan pihak ketiga supaya mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sungguh, desa benar-benar menjadi subyek pembangunan bukan lagi obyek semata. 

Dengan adanya pembangunan di desa, diharapkan masyarakat desa bisa mengambil manfaat langsung misalnya terbukanya lapangan kerja, terlayaninya kebutuhan dasar masyarakat, serta terjadi perubahan perilaku, sikap, dan keterampilan masyarakat desa lebih baik.

Kisah sukses gerakan ini mengirimkan pesan bahwa perubahan itu memungkinkan untuk dilakukan. Kunci suksesnya tak sekadar pada adanya gerakan semata, namun butuh dukungan dari pemerintah dan warga. Menurut saya, semua pihak khususnya pelaku kepentingan terkait desa harus satu visi bahwa pembangunan desa itu penting dilakukan. Butuh revolusi mental.

Sayangnya, seperti dikatakan Doktor Sutoro Eko, salah seorang penggagas UU Desa, saat ini semangat implementasi regulasi tersebut seolah mati layu. Ini dikarenakan menurutnya, adanya peraturan turunan dari UU Desa di tingkat provinsi atau kabupaten yang justru menghambat implementasi secara teknis. Kemudian di sisi lain, kesadaran untuk membangun desa dengan pola lama harus diakhiri. Pola lama maksudnya membangun desa tidak sesuai prioritas, adanya praktik korupsi/mark up, asal dana terserap, kurangnya transparansi dalam penggunaan dana, dan praktik jelek lainnya.


Bila pola lama ini masih saja berjalan dan pendamping desa tidak mampu menjadi agen penggerak maka tujuan mulia pendampingan desa bisa tidak terwujud. Bila Korsel bisa berubah dengan gerakan Saemaul Undong, tentu kita bisa berubah juga lewat pendampingan desa. 

SALAM MERDESA.

Apa Itu Pratugas Pendamping Desa?




Kawah Candradimuka Calon Pendamping Desa

UNTUK menjadi seorang Pendamping Desa (PD), peserta wajib ikut pratugas. Kegiatan ini mengharuskan peserta mengikuti 12 pokok bahasan (PB) dan 37 sub pokok bahasan (SPB). Sebanyak itu dipelajari dalam waktu 12 hari. Ibarat Gathotkaca, kami dilebur dulu di Kawah Candradimuka.

Untuk Provinsi Jawa Tengah, kegiatan Pratugas dilakukan sejak 23 Oktober hingga 4 November 2016. Kegiatan ini diikuti 399 calon Pendamping Desa (PD). Selama pratugas, lokasi kegiatan peserta dibagi dua yakni di Hotel Semesta dan Quest Hotel. Keduanya saling berdekatan, hanya terpisah jarak sekitar 150 meter.

Apa yang dilakukan saat Pratugas?

Kepala Bapermasdes Provinsi Jawa Tengah, Tavip Supriyanto mengatakan, tanpa mengikuti pratugas seorang calon pendamping desa tidak akan dikontrak oleh satuan kerja. Karenanya, pratugas wajib. Dan seorang calon pendamping desa harus 80 persen mengikuti materi yang dibuktikan dengan presensi harian di kelas.

“Selamat belajar buat calon pendamping desa. Tugas di lapangan nantinya berat, harus benar-benar memahami UU Desa,” kata Tavip, saat membuka pratugas, belum lama ini.

Hal senada juga disampaikan salah satu penggagas UU Desa, Doktor Sutoro Eko. Katanya, pendamping desa itu bukan mandor proyek di desa sehingga harus mampu menggerakan kader dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa. Sutoro juga memotivasi agar pendamping desa mampu menjadi agen penggerak pembangunan di desa dengan melakukan transfer pengetahuan kepada masyarakat.

Kembali ke pratugas. Materi pokok bahasan disampaikan oleh pelatih yang merupakan tenaga ahli terpilih. Merekalah yang selama 12 hari menyampaikan 12 pokok bahasan. Ke-12 pokok bahasan adalah :

No
Pokok Bahasan
1.
Dinamika Kelompok dan Pengorganisasian Peserta
2.
Perspektif Undang-undang Desa
3.
Tatakelola Desa dan Kelembagaan Desa
4.
Pembangunan Desa
5.
Fasilitasi Kerjasama Antardesa
6.
Pemberdayaan Masyarakat Desa
7.
Pengarusutamaan Inklusi Sosial
8.
Pendampingan Desa
9.
Membangun Tim Kerja di Kecamatan
10.
Fasilitasi Peningkatan Kapasitas Pendamping Lokal Desa
11.
Supervisi Pendamping Lokal Desa
12.
Rangkuman Evaluasi, dan Rencana Kerja Tindak Lanjut

Yah, selama 12 hari para calon pendamping desa yang budiman harus melahap semua materi di atas. Materi disampaikan dengan pola pendidikan orang dewasa. Pembelajaran berlangsung interaktif, baik pemateri dan peserta bisa sharing terkait pengalaman yang pernah dijumpai saat bertugas. Selain teori, materi disampaikan lebih banyak berupa diskusi dan simulasi. Pokoknya, saat pratugas, calon pendamping desa sudah disiapkan betul-betul terjun ke desa.

Selamat pratugas

SALAM MERDESA. (**)

Strategi IPO Agar Musdes Lebih Demokratis

Doktor Sutoro Eko tengah menggugah kesadaran kritis para PD dalam pembukaan Pratugas Jateng 2016



KETIKA mendengar nama Musyawarah Desa atau Musdes. Apa yang ada dalam bayangan Anda? Barangkali ada yang membayangkan : rapat di balai desa, berhimpunnya tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan BPD membahas masalah strategis, atau ada juga yang berujar itu adalah rapat monoton dengan campur tangan kuat dari kades dan sebagainya.

Karena itu, sebelum masuk lebih dalam. Saya mengutip pengertian Musdes seperti yang diatur dalam  Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jadi, yang disebut Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.

Setelah memahami pengertian tersebut, diketahui Musdes adalah hal yang penting lantaran membahas hal-hal strategis. Apa hal-hal strategis yang masuk menjadi pembahasan Musdes yakni : Review Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan hal penting lainnya yang terkait kewenangan desa.

Meski fungsinya penting, gelaran Musdes di desa menjumpai hambatan. Setidaknya menurut saya, hambatan perlu diatasi agar musdes benar-benar menjadi wahana demokrtaisasi di tingkat lokal. Singkat kata, musyawarah desa harus bercirikan prinsip adil, terbuka, bebas intervensi, melibatkan elemen masyarakat, dan berjalan aktif.

Kendala yang dialamai antaralain:

1. Undangan tidak merata (hanya personal/kelompok tertentu yang diundang).
2. Kesadaran masyarakat tentang Musdes belum merata (ada yang menganggap tidak penting)
3. Berkas administrasi (daftar hadir, notulensi dll) dan dokumentasi kurang disiapkan
4. Ada intervensi kepentingan dari kepala desa yang masuk/mengarahkan proses musdes.

Karena itu, kehadiran Pendamping Desa diharapkan mampu mengembalikan peran Musdes dan menggugah kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya musdes.

Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yakni : IPO.
Apa itu IPO? Adalah kependekan dari Input, Proses, dan Output. Pendamping Desa harus memperhatikan betul ketiganya.


INPUT
PROSES
OUT PUT
Buat daftar undangan
Ada Tatib Musdes
Adanya notulen/BA/daftar hadir
Siapkan bahan rapat
Sampaikan Latar Belakang
Ada RKTL
Pastikan narasumber
Seremonial/agenda

Berita acara dan dokumentasi
Ada pimpinan/moderator


Berjalan aktif


Sebagai Pendamping Desa kita berkepentingan memfasilitasi agar Musdes berjalan demokratis. Perlu diingat, musdes adalah forum tertinggi di desa, sehingga musdes yang adil dan demokratis menjadi kebutuhan bersama. (**)


Rabu, 26 Oktober 2016

Menuju Kemandirian Desa dengan Tri Matra

Para Pendamping Desa sedang berdikusi kelompok di sela-sela Pratugas 2016


PROSES menuju desa mandiri ditopang oleh pilar yang bernama Tri Matra. Konsep tiga strategi jitu ini dikembangkan oleh  Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Kami, para calon Pendamping Desa (PD) Provinsi Jawa Tengah mendapat materi ini dalam sesi pratugas, 23 Oktober-4 November di Semarang.

Lalu apa itu Tri Matra?

Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kemendes, Ahmad Erani Yustika mengatakan, ada tiga fokus yakni Jaring Komunitas Wira Desa (Jamu Desa). Program ini mengutamakan peningkatan kapabilitas masyarakat dan kapasitas lembaga desa. Kedua, Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa) yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi secara kolektif berbasis potensi lokal. 

Dan ketiga,  Lingkar Budaya Desa (Karya Desa) memastikan seluruh gerak pembangunan selaras dengan budaya lokal sehingga mampu menjaga keberlanjutan pembangunan.

Dijelaskan lebih sederhana, Jamu Desa merupakan upaya penguatan daya dan ekspansi kapabilitas masyarakat desa. Contoh kegiatan yang dilakukan misalnya : pelatihan, pendidikan formal, pendidikan informal, sanggar belajar, rumah belajar masyarakat, perpusatakaan desa.

Untuk konsep Bumi Desa cenderung penguatan ketahanan pangan di desa. Misalnya, pengorganisasian gabungan kelompok tani, pembentukan BUM Desa, pembentukan KUD/UEP/KUBE/koperasi, dan lainnya. Adapun matra ketiga, Karya Desa menekankan pada upaya mengguah kesadaran masyarakat desa untuk menjaga budaya lokal misalnya kegiatan gotong royong.

"Proses berdesa menuju desa mandiri ditopang oleh Tri Matra tadi," kata pelatih di kelas kami, Apriyanto, tenaga ahli pemberdayaan partisipatif dari Kabupaten Semarang. (**)

Diskusi Jadi Ciri Utama Pembelajaran Pratugas


Suasana diskusi di kelas 1. Hasil diskusi ditulis di atas plano.

SEKADAR mengisi waktu istirahat. 
Saya pengin nulis serba-serbi pratugas Pendamping Desa Provinsi Jawa Tengah. 
Banyak hal ringan yang istilahnya 'Dibuang sayang' yang pengin saya tulis. Tak coba dari peristiwa harian yang terjadi di kelas. Saya rasa, di kelas lain juga ditemui peristiwa ini.

Seperti diketahui, pratugas ini digelar 12 hari. Waktu yang lumayan tidak sebentar, terutama bagi kami yang sudah berkeluarga. Meninggalkan anak-istri di rumah menimbulkan rasa kangen tiada terkira. Tapi demi pelatihan, tak apalah. Sabar menunggu sampai pelatihan usai 4 November 2016 mendatang.

Hari keempat pratugas, Rabu (26/10). Seperti hari yang sudah terlewat, proses transfer materi di kelas berjalan interaktif. Pelatih dan peserta sama-sama aktif. Tidak terkesan menggurui, namun bernuansa sharing, bertukar pendapat dan gagasan. 

Saya berada di kelas 1 di Quest Hotel, Semarang. Di daftar hadir ada 32 nama, namun yang terlihat hadir ada 28 peserta saja. Mungkin 4 orang lainnya sudah mundur, atau alasan lain. Di kelas, kami diampu oleh tiga pemateri yakni Apriyanto (TA-PP Kab. Semarang), Sumirat Cahyo (TA-PED Kab. Grobogan), dan Sunarlan (TA-ID Kab. Sukoharjo). Proses pembelajaran berlangsung dari jam 08.00-17.30 WIB. Woow...

Pendidikan orang dewasa diterapkan dalam pembelajaran. Pemateri menekankan yang dibutuhkan adalah persamaan persepsi. Sehingga saat di lapangan nantinya, ada kesamaan visi dan langkah.

"Teman-teman itu ibarat gelas yang sudah ada isinya. Ada gelas yang berisi air teh, ada gelas berisi kopi, ada gelas berisi air putih dan lainnya. Tentunya, isi gelas tidak dibuang namun dibuat agar yang sudah ada isinya itu tetap bermanfaat. Disinilah perlunya persamaan persepsi dalam memahami UU Desa," kata Mas Apriyanto dengan penuh semangat.

Biar tidak mengantuk pelatih kadang melempar joke atau guroan. Suasana jadi segar dan tidak terlihat ada peserta yang mengantuk.

Diskusi menjadi kebiasaan rutin. Kadang pemateri melempar pertanyaan dan kemudian didiskusikan. Kelaspun dibentuk dalam berbagai kelompok. Hasil pengerjaan kemudian ditulis tangan di atas kertas plano (kertas lebar/tipis). Saking banyaknya plano, papan sekat dan dinding ballroom nyaris penuh tempelan plano.

Semoga dengan seringnya diskusi serta pembelajaran ini membuat kami para pendamping desa paham dan menguasai materi.

SALAM MERDESA.


Mari Kenali Tempat Tugas : Perspektif Desa Baru

Suasana pembelajaran di Kelas 1


AWAL - awal pratugas, para calon Pendamping Desa dikenalkan dengan perspektif 'Desa Baru'. Sebutan ini berantonim dengan 'Desa Lama'. Apa itu 'Desa Lama' dan apa itu 'Desa Baru'? Para PD yang budiman wajib tahu dan paham karena Anda akan bertugas di sana.

Pembahasan ini masuk dalam Pokok Bahasan (PB) Perspektif Undang-undang Desa. Dikotomi 'Desa Lama' vs 'Desa Baru' ini masuk dalam Sub Pokok Bahasan (SPB) Perubahan Mendasar Desa. 

Yaa..Desa mengalami perubahan signifikan dengan lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

"Saya mantan kepala 'Desa Lama'," kata Ketua Kelas 1, Bapak Iman, PD asal Kabupaten Brebes usai mendengar penjelasan pemateri di kelas. Materi di kelas kami disampaikan oleh Apriyanto (TA-PP Kab. Semarang), Sumirat Cahyo (TA-PED Kab. Grobogan), dan Sunarlan (TA-ID Kab. Sukoharjo). Pratugas dilakukan selama 12 hari, 23 Oktober-4 November 2016.

Lalu apa perbedaan perspektif 'Desa Lama' dengan 'Desa Baru'?

Singkat kata, pengaturan Desa (sebelum berlaku UU Desa) dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman: menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan NKRI. 

Lalu dengan lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membuat perubahan, yang paling mendasar Negara mengakui dan menghormati eksistensi desa. Dikenal dengan azas 'REKOGNISI' dan 'SUBSIDIARITAS'. Sementara dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, pengaturan Desa dengan azas 'OTONOMI dan DESENTRALISASI'. Kedua azas ini sangat berbeda.

Selain perbedaan payung hukum dan azas yang sudah diuraikan di atas, perbedaan 'Desa Lama' dan 'Desa Baru' sebenarnya sangat banyak. Sekilas tentang 'Desa Baru' adalah (1). Diakui tipe Desa dan Desa Adat, (2). Kedudukan desa merupakan Pemerintahan Masyarakat, gabungan antara Self Governing Comunity dengan Local Self Goverment. (3). Desa bukan obyek, tapi subyek pembangunan (4). Kepala Desa bukan kepanjangan tangan, tapi pemimpin masyarakat. (5). Desa memiliki mandat, bukan target pembangunan. (6). Pendekatan pembangunan lebih humanis dengan fasilitasi, emansipasi, dan konsolidasi. 

Oya..masih banyak yang lainnya..silakan teman-teman lengkapi..dengan membandingkan di UU Nomor 6 Tahun 2014 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004.
Nantinya sebelum bertugas, definisi ini perlu dikuasai. Sehingga tugas Pendamping Desa untuk mengimplementasikan UU Desa dan memberdayakan masyarakat dalam proses Berdesa menuju Desa Mandiri, Kuat, Maju, dan Demokratis bisa tercapai. 

Salam MERDESA. (**)





Selasa, 25 Oktober 2016

Pentingnya Memahami Hakikat Desa


Para pelatih kelas 1, dari kiri-kanan: Apriyanto (TA-PP Kab. Semarang), Sumirat Cahyo (TA-PED Grobogan), dan Sunarlan (TA-ID Sukoharjo)



ALHAMDULILLAH..hari ketiga pelatihan Pratugas Pendamping Desa Provinsi Jawa Tengah tahun 2016 sudah terlewat. Masih ada 9 hari pelatihan hingga ditutup 4 November mendatang.

Hari ini, Selasa 25 Oktober 2016 sehari full kami para calon Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP) dan Pendamping Desa Teknik Infrastruktur (PD-TI) digembleng materi dasar. Tujuannya menyamakan persepsi pendampingan dan memahami hakikat Desa sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Kami belajar di kelas 1 Quest Hotel, Semarang. Ada 28 calon PD di ruangan. Total ada 399 calon PD Provinsi Jawa Tengah yang ikut pelatihan. Sampai akhir pratugas, kami dilatih oleh tiga orang yakni Apriyanto (TA-PP Kab. Semarang), Sumirat Cahyo Widodo (TA-PED Kab. Grobogan), dan Sunarlan (TA-ID Kab. Sukoharjo). Pembelajaran yang dilakukan menggunakan pola pendidikan orang dewasa, perpaduan antara teori, diskusi, dan praktik/simulasi. 

"Rohnya pendamping desa adalah harus memahami azas rekognisi dan subsidiaritas," kata Apriyanto di depan peserta saat materi Pokok Bahasan Perspektif Undang-undang Desa. 

Ia juga mengulas perbedaan desa lama dan desa baru (setelah lahirnya UU Desa). Singkat kata, azas rekognisi bisa diartikan sebagai pengakuan negara terhadap hak asal usul desa. Sedangkan azas subsidiartitas merupakan penetapan kewenangan lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.

Bila tidak paham, PD nantinya bisa terjabak dalam urusan-urusan teknis. Padahal tugas PD dikatakannya memiliki peran besar untuk 'mengisi ruang-ruang kosong' para pemangku kepentingan pembangunan desa. 

"Pendamping Desa juga harus tahu empat kewenangan desa," kata pelatih lainnya, Sumirat Cahyo. Empat kewenangan desa itu yakni kewenangan desa berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemda provinsi, dan pemda kabupaten/kota. Kemudian keempat kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemda provinsi, dan pemda kabupaten/kota yang diatur sesuai perundangan.

Tidak kalah penting, juga ditanamkan TRI MATRA Desa yakni inovasi menuju kemandirian desa yang meliputi Jaring Komunitas Wiradesa (JAMU DESA), Lumbung Ekonomi Desa (BUMI DESA), dan Lingkar Budaya Desa (KARYA DESA).

Materi lain yang diberikan pada hari ketiga adalah Kelembagaan Desa, Musyawarah Desa sebagai Demokratisasi Desa, dan Tata Kelola Desa. Di penghujung hari, sempat didiskusikan dan praktik Dimensi Pembangunan dalam Kerangka Indeks Desa Membangun. 




Tips Sukses Pre Test Pendamping Desa



PRE TEST atau test awal menjadi bagian dari acara pembuka Pratugas Pendamping Desa Provinsi Jawa Tengah yang digelar pada hari kedua, Senin (24/10) kemarin. Pre test menjadi tolok ukur pengetahuan awal para Pendamping Desa (PD) sebelum mengikuti pra tugas selama 12 hari.

Bagian pre test menjadi rangkaian kegiatan yang ditunggu oleh para PD. Beberapa ada yang menyiapka secara khusus dengan belajar, tapi banyak pula yang memilih santai menghadapi pre test. Toh pra PD sebelumnya sudah melewati rangkaian test yang bisa dibilang tidak ringan. Bagi saya sendiri, menjelang pre test saya perbanyak membaca kembali UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Maklum, lamanya menunggu masa pra tugas sejak pengumuman lolos seleksi cukup lama sehingga perlu update informasi.

Dari jadwal yang dibagikan panitia, pre test dilakukan hari kedua setelah acara pembukaan dan orasi materi dari narasumber. Teknisnya, para peserta dibagi per kelas. Saya sendiri masuk kelas 1 yang lokasinya di Quest Hotel. Tibalah waktunya mengerjakan test. Pelatih kelas kami, mas Cahyo (Tenaga Ahli dari Kabupaten Rembang) membagikan soal.

Rupanya, soal pre test ini jenisnya pilihan ganda (multiple choice). Jumlahnya ada 20 butir. Melihat soal jenis ini rasanaya persis seperti soal ujian pelajar di sekolah. Adapun waktu pengerjaannya dibatasi selama 30 menit.

Bagaimana soal ujian ini? Komentar saya, soalnya sih gampang. Jawabannya juga gampang hehehe. Tidak sampai batas waktu, rata-rata para peserta pratugas sudah mengisi penuh lembar jawaban. Gampang, kuncinya Anda harus mau belajar atau setidaknya membaca kembali UU Nomor 6 Tahun 2014. Selain itu, Anda juga disarankan mengerjakan dengan penuh percaya diri. Tak usah terpengaruh jawaban dari teman atau melakukan tindakan mencontek. Nilai jawaban dari pre test hanya digunakan untuk mengukur sejauh mana pengetahuan awal para PD sebelum mengikuti ujian.

“Kami jadi tahu materi mana yang masih belum dikuasai oleh para peserta,” kata Cahyo, pelatih di kelas kami. 

Akhirnya, selamat menjalankan pra tugas bagi teman-teman PD tahun 2016. Bagi teman-teman PLD (Pendamping Lokal Desa), tetap sabar nantinya jadwal pratugas akan segera tiba. (**)

Senin, 24 Oktober 2016

Banyak Peraturan ‘Membunuh’ Semangat UU Desa




PADA hari pertama pratugas Pendamping Desa Provinsi Jawa Tengah, kami para pendamping desa (PD) merasa beruntung. Usai acara seremonial, Doktor Sutoro Eko (perancang UU Desa) naik ke podium. Tanpa teks dan slide, beliau berbicara fasih tentang Implementasi dan Permasalahan UU Desa. Bagi kami yang hendak bertugas mengawal implementasi UU Desa, ini sangat menarik.

Penulis buku ‘Desa Membangun Indonesia’ dan ‘Regulasi Baru Desa Baru’ ini membuka bahwa pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa seolah mati layu. Saya tersentak dengan pernyataan ini, kok bisa? Padahal sejauh yang saya tahu, UU Desa ini bisa disebut yang terbaik dari produk UU sejenis yang mengatur tentang desa.

Saat ini, UU Desa mati layu. Hanya semangatnya yang bergaung. Ini dikarenakan banyak peraturan turunan yang melenceng. Banyak hal-hal urgen dalam UU Desa yang dipotong dengan perangkat yang membunuh hakikat,” katanya.

Menurutnya, hakikat desa yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah ingin mewujudkan desa yang maju, kuat dan demokratis. Meski kemudian ia menyebutkan, banyak pihak atau oknum yang ‘menggelapkan’ hakikat keempat : demokrasi dengan tindakan misalnya musyawarah desa yang sudah disetting terlebih dahulu.

“Para pendamping desa harus mampu menjadi jembatan sosial bagi para pelaku pemberdayaan masyarakat di tingkat lokal. Mampu mengisi ruang-ruang kosong antara BPD dengan perangkat desa atau masyarakat dengan perangkat desa,” ujar Sutoro yang berdiri di mimbar.

Ia menambahkan, untuk mewujudkan hakikat desa ada enam skema. Yakni, pertama negara mengakui dan menghormati (azas rekognisi) eksistensi desa. Kedua, negara memberikan mandat (subsidiaritas) yang berupa kewenangan lokal berskala desa dengan dua inti yaitu kewenangan dan pembangunan. Kemudian, ketiga, negara memberikan redistribusi. Keempat, konsolidasi. Kelima, Fasilitasi. Keenam, hubungan antara warga dengan masyarakat untuk mewujudkan demokratisasi. Menurutnya, masyarakat harus memantau dan berpartisipasi dalam pembangunan desa agar penyerapan dana desa berjalan optimal.


Di akhir acara, dilakukan sesi diskusi. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pelatih maupun peserta pratugas untuk menyampaikan pertanyaan maupun pengalaman praktik di lapangan. Kegiatan pratugas ini diikuti sebanyak 399 pendamping desa yang dilakukan selama 12 hari sejak 23 Oktober hingga 4 November mendatang di Semarang. (**)

Pendamping Desa Harus Bisa Implementasikan Undang-undang Desa



399 Orang Ikuti Pratugas 


SETELAH menunggu sekitar tiga bulan, pelaksanaan pratugas pendamping desa (PD) akhirnya terwujud. Pendamping Desa merupakan para fasilitator yang akan mengawal implementasi UU Desa di tingkat lokal. Adapun pratugas merupakan kegiatan pelatihan yang wajib diikuti oleh para calon Pendamping Desa (PD) sebelum dikontrak oleh Satker Pemberdayaan Masayarakat Desa Provinsi Jawa Tengah dan turun ke lapangan.

Bapak Nurul Hadi (saya lupa apa jabatan beliau) dalam sambutannya mengatakan kegiatan pratugas Provinsi Jawa Tengah diikuti sebanyak 399 orang. Terdiri dari 285 orang Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP) dan 114 orang Pendamping Desa Teknik Insfratruktur (PDTI). Saya termasuk mengikuti pelatihan ini yang diadakan selama 12 hari sejak 23 Oktober hingga 4 November di Semarang.

Tujuan pelatihan untuk membekali para pendamping desa dengan pengetahuan dan wawasan tentang aspek-aspek strategis pembangunan, regulasi, kerjasama masyarakat desa serta mematangkan sikap pendamping desa. Nantinya harus memiliki etos kerja yang tinggi,” ujarnya saat menyambut dalam pembukaan acara yang diadakan di Hotel Semesta, Semarang.

Ia juga menambahkan, agar para pendamping nantinya mengawal proses implementasi Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tidak kalah penting untuk melibatkan masyarakat dan Kader Pemberdayaan Masayarakat Desa (KPMD) di tiap desa untuk menyukseskan pembangunan desa.

Sementara itu, Kepala Bapermasdes Provinsi Jawa Tengah Tavip Supriyanto mengatakan, kehadiran pendamping desa sangat penting dan sudah ditunggu-tunggu oleh perangkat desa mengingat dana desa tahun 2016 sudah dicairkan.

“Para pendamping desa harus dapat menstransfer ilmu kepada kawan-kawan di desa agar pembangunan bisa optimal. Harus bisa bersinergi dengan BPD, perangkat desa, masyarakat, camat untuk mengimplementasikan UU Desa,”tegasnya.


Ia mengatakan, selama 12 hari para calon pendamping akan mendapat beberapa materi terkait tugas nantinya. Ketentuannya wajib mengikuti 80 persen sesi materi. Bila tidak, bisa dinyatakan gugur atau dicoret. Acara pembukaan pratugas kemudian dilanjutkan dengan penyematan secara simbolis tanda peserta serta ditutup doa bersama. Usai penutupan dilanjutkan sesi ceramah umum yang disampaikan oleh Doktor Suntoro Eko yang menyampaikan esensi UU Desa. (**)

Ditinggal Pelatihan Pendamping Desa, Si Kecil Merengek




Abi pake baju ini..? Apa ini aja..? Celoteh Si Kecil Yasmin (3).
Matanya yang kecil sambil melihat isi lemari. Sejurus kemudian, tangannya menggapai baju lengan panjang biru-biru yang biasa saya pakai.Setelah berhasil diambil (tentu dengan bantuan saya karena baju ini berada di tumpukan), ia segera mengulurkan baju itu ke saya.

"Jangan, jangann..bukan baju ini sayang," jawab saya sambil berjongkok depan lemari.

Si kecil yang belum lama bangun tidur ini tanggap. Ia kembali melihat isi lemari yang ada di kamar kami. Kali ini yang diambil baju batik. Lalu ia berkata.

"Ini ya Bi,?". Saya segera membalas untuk mengapresiasi. "Iya boleh ini dibawa abi ya," Yasmin tersenyum dan meletakan baju yang dipilihnya bersama pakaian yang sudah saya siapkan. Tak jinjing besar sudah siap menampungnya untuk dibawa ke Semarang, Minggu (22/10) siang.

Selama 12 hari hingga Jumat 4 November 2016 saya harus meninggalkan anak dan istri yang saya cintai. Rentang waktu itu saya berada di Semarang untuk mengikuti pelatihan Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP) 2016 bersama tiga ratusan petugas lainnya.

Melihat apa yang diperbuat Yasmin memilihkan baju untuk saya membuat bahagia. Selama ini si kecil yang lahir 17 April 2013 lalu ini manja dan kerap susah ditinggal saya pergi. Kalau pamit, kadang kelayu. Tapi kalau tidak pamit, meninggalkan 12 hari tanpa pamit rasanya yang keterlaluan.

Karenanya, istri saya, Anies Indah Hariyanti mencoba pamit pelan-pelan ke si buah hati sejak beberapa hari menjelang hari keberangkatan. Hasilnya, lumayan bagus. Si kecil memahami dirinya bakal ditinggal oleh si bapak.

"Abi jangan pergi laaa," rengeknya.

Sejurus kemudian, posisi badannya menunjukkan ekspresi sedih. Lunglai dan merebebah ke lantai. Wajahnya ditutup kedua tangannya dalam posisi menyerupai orang sujud. Air matanya keluar. Melihat aksinya ini, saya yang sedang kemas-kemas kemudian berhenti. Saya angkat badan si Yasmin dan membopongnya ke depan cermin.

"Jangan nangis ya Nak. Di rumah ada Mama, ada Embah. Abi kerja dulu yaa..nanti kan punya uang bisa buat jajan," bujuk saya membuatnya berhenti merengek. Setelah itu ia pun ceria, terlihat memanja dalam bopongan.

Tengah hari, selepas solat duhur, mobil travel yang menjemput saya ke Semarang datang menepi di tepi jalan. Si kecil Yasmin ikut mengantar saya. Setelah pamitan ke istri, ibu, dan ibu mertua, giliran si kecil Yasmin yang saya jabat tangannya. Saya kecup pipinya dan melambaikan tangan sembari bergegas naik. Dadaaah Yasmin....jangan cengeng ya. Manut sama Mama. (**)

Kamis, 20 Oktober 2016

TBM Bawor Gabung Forum TBM se-Banyumas



TAMAN Baca Masyarakat (TBM) Bawor Bancarkembar kini ikut gabung dalam Forum TBM se-Banyumas (FTBM). Rencananya, bulan depan akan digelar Festival Dongeng. Kegiatan menarik, so dont miss it.

Mendorong gerakan literasi, Kamis (20/10) kemarin, FTBM Banyumas mengadakan pertemuan bertempat di Kantor Perpusarda Kabupaten Banyumas. Yang hadir cukup banyak. Kursi yang disediakan, sekitar 30 buah nyaris penuh. Ketua FTBM Banyumas, Heru Kurniawan dari Rumah Kreatif Wadas Kelir mengatakan, pertemuan ini merupakan kali pertama para relawan gerakan literasi berkumpul. Sungguh istimewa. Termasuk dari TBM Bawor, Bancarkembar ikut hadir yang diwakili Hanan Wiyoko, pendiri TBM.

Agenda kemarin adalah pelatihan manajemen TBM yang disampaikan oleh pustakawan Perpusarda Kabupaten Banyumas, Fuad Zein. Materi yang diberikan berupa dasar-dasar pengelolaan TBM seperti klasifikasi buku koleksi, membuat kegiatan menarik di TBM, serta hal teknis lainnya. 

"Kegiatan ini sangat bermanfaat. Khususnya bagi kami yang masih dalam tahap awal pendirian TBM," kata Hanan.

Selain mendapat materi manajemen TBM, juga disampaikan pengurus FTBM Banyumas 2016-2017 yakni :
  1. Ketua  : Heru Kurniawan
  2. Sekretaris : Meiana P Utama dan Umi H
  3. Bendahara : Hartati dan Wiwik Supriatmi
  4. Manajemen : Titi Anisatul Laely dan Warastutti Any Anggorowati
  5. Program : Risdianto Hermawan dan Yusep K
  6. Kemitraan : Apris Nur Rakhmadani dan Khusnul Khotimah
  7. Komunikasi : Cuci Haryati dan Fatkhr Rozak