Entri Populer

Sabtu, 18 November 2017

Keberhasilan Kalisari Menjadi Desa Mandiri Energi



Di Kabupaten Banyumas sedikit desa yang menyadari adanya potensi energi baru terbarukan. Potensi ini bisa berasal dari alam, maupun hasil dari mengolah limbah. Karena tidak mengetahui potensi tersebut, pemanfaatan energi baru terbarukan jadi terabaikan. Bila bisa dikelola, potensi ini bisa menjadi sumber energi alternatif menggantikan sumber energi yang tidak terbarukan. Ada beberapa contoh desa yang memiliki potensi belum tergarap, namun dalam tulisan ini saya ingin membahas desa yang dianggap berhasil mengelola potensi energi terbarukan. Harapannya pengalaman dan praktik baik bisa direplikasikan di desa lain.

Salah satu desa yang dianggap berhasil adalah Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Desa penghasil tahu ini dinobatkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI sebagai Desa Mandiri Energi (DME). Sejak tahun 2009, desa ini sudah mengolah limbah cair tahu menjadi biogas. Pemanfaatan biogas digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti elpiji.

Kesadaran Pemanfaatan

Produksi tahu di Kalisari dilakukan sudah turun temurun. Saya berusaha mencari tahu, kapan dan siapa yang mula-mula memproduksi tahu di Kalisari. Namun data sejarah ini minim. Dari penuturan lisan, produksi tahu diperkirakan muncul pada era tahun 1920-an. Konon, ada seorang Tionghoa yang memproduksi di Kalisari dengan mempekerjakan warga lokal. Lambat laun berkembang, warga lokal menjadi mandiri dan bisa membuka usaha tobong tahu sendiri.

Dari keterangan Kepala Desa Kalisari, Azis Masruri jumlah produsen tahu mencapai 280 orang. Di desa ini ada lima instalasi pengolah limbah tahu dan ada empat kelompok pemanfaat biogas dengan jumlah anggota sekitar 200 orang. Sebelum dilakukan pengolahan biogas, produksi tahu menimbulkan masalah. Yakni, pencemaran lingkungan yang mengakibatkan gangguan kesehatan warga desa. Masalah ini terjadi karena limbah cair yang mengandung bahan kimia dialirkan sembarangan ke sungai dan selokan sehingga mencermari air dan menimbulkan bau menyengat.

Gangguan ini membuat masyarakat tersadar perlunya pengelolaan limbah cair tahu. Hingga akhirnya mendapat bantuan pembangunan instalasi biogas kali pertama pada 2009 sebagai pilot project BPPT Kemenristek. Instalasi ini berupa digester atau pengolahan limbah cair menggunakan mikroba agar menghasilkan biogas yang kemudian dialirkan ke rumah pemanfaat. Bantuan sejenis juga diberikan ke tetangga desa yang sama-sama mengelola limbah tahu, namun bantuan tersebut mangkrak. Limbah tetap dibuang ke sungai.

Prinsip Nguwongna

Apa yang membuat Kalisari berhasil memanfaatkan limbah cair menjadi biogas? Kesuksesan ini menurut saya didukung banyak faktor, namun dalam tulisan ini saya mengamati dari kajian komunikasi. Dari kajian ilmu komunikasi, keberhasilan pengelolaan biogas di Kalisari karena terbangun pola komunikasi interaksi antar pemangku kepentingan. Kepala desa sebagai komunikator (penyampai pesan) mengedepankan prinsip nguwongna atau memanusiakan. Sebagai manusia, siapapun ingin diperlakukan dengan baik, terhormat, dan adil antara hak dan kewajiban. Di Kalisari, komunikasi dibangun dengan pendekatan kemanusiaan.

Meski sederhana, nguwongna bisa sulit dilaksanakan. Terutama bila sosok kepala desa sebagai elite desa bersikap egois, merasa kuasa, dan tidak memiliki kepemimpinan inovatif progresif. Di Kalisari, dari beberapa pengurus kelompok pemanfaat biogas yang ditemui mengaku bisa memaknai prinsip nguwongna tersebut. Implementasi yang dirasakan antara lain. Pertama, kepala desa memberikan kepercayaan kepada kelompok untuk mengatur pemanfaatan dan pemeliharaan instalasi biogas limbah tahu (biolita). Termasuk kewenangan untuk mengelola uang pembayaran dari anggota kelompok. Dalam tiap bulan, pemanfaat biogas di Kalisari dikenai tarif Rp 15.000-20.000. Uang ini dikelola kelompok untuk pemeliharaan dan sekitar 20 persen untuk profit sharing dengan BUMDes.

Kedua, membangun komunikasi dua arah dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas terkait pengelolaan biogas. Maksudnya, kepala desa mengkampanyekan perlunya menjaga kebersihan lingkungan dari limbah tahu dan pelestarian biogas kepada masyarakat melalui forum-forum desa, seperti selapanan dan rapat-rapat. Termasuk mengalokasikan penganggaran dari Dana Desa (DD) untuk biaya pemeliharaan sarana fisik instalasi biogas. Masyarakat juga bisa menyampaikan informasi terkait kebutuhan kelompok kepada pemerintah desa. Di setiap kelompok pemanfaat biogas terdapat satu perwakilan perangkat desa yang masuk menjadi pengurus kelompok. Cara ini nguwongna agar perangkat desa bisa berbaur dan menyerap aspirasi kelompok.

Prinsip nguwongna ketiga adalah dengan memberikan hak-hak semestinya kepada mereka yang secara serius mengelola dan menjaga instalasi biogas. Misalnya petugas teknis desa yang melakukan perbaikan instalasi mendapat honor sesuai kemampuan kelompok. Selain itu, juga membangun komunikasi dengan supradesa, misalnya Dinas Lingkungan Hidup maupun pihak lain yag peduli dengan pemanfaatan biogas dari limbah tahu.  

Pemberdayaan Masyarakat

Dengan adanya prinsip nguwongna tersebut masyarakat akan merasa dilibatkan dalam proses pemanfaatan dan pemeliharaan biolita. Tumbunya kesadaran dan kemauan masyarakat menjadi modak sosial mendukung gerak pemberdayaan masyarakat dalam implementasi Desa Mandiri Energi. Sebagai sebuah kebijakan, program Desa Mandiri Energi di Kalisari merupakan kebijakan populis. Kebutuhan masyarakat akan lingkungan yang sehat, bersih, dan nyaman terus dijaga, sementara disisi lain aktivitas bisnis produksi tahu tetap berjalan. Jembatan dari dua kebutuhan ini adalah dengan menjaga komunikasi antar pemangku kepentingan tetap seimbang dan lancar. Meski tidak mulus 100 persen, atau masih ada kendala kecil, pemanfaatan limbah biogas dari limbah cair di Kalisari patut diacungi jempol. Untuk pengembangan ke depan, perlu kiranya dibuatkan peraturan desa secara khusus yang mengatur tentang pengolahan limbah cair tahu. Serta tidak kalah penting adalah merawat instalasi yang sudah ada agar tetap bekerja dengan baik sehingga masyarakat tetap terlayani. (*)


Penulis adalah Pendamping Desa Pemberdayaan; Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED