PADA hari pertama pratugas Pendamping Desa Provinsi Jawa Tengah, kami
para pendamping desa (PD) merasa beruntung. Usai acara seremonial, Doktor
Sutoro Eko (perancang UU Desa) naik ke podium. Tanpa teks dan slide, beliau berbicara
fasih tentang Implementasi dan Permasalahan UU Desa. Bagi kami yang hendak bertugas mengawal implementasi UU Desa, ini sangat
menarik.
Penulis buku ‘Desa Membangun Indonesia’ dan ‘Regulasi Baru Desa Baru’
ini membuka bahwa pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa seolah mati
layu. Saya tersentak dengan pernyataan ini, kok bisa? Padahal sejauh yang saya
tahu, UU Desa ini bisa disebut yang terbaik dari produk UU sejenis yang
mengatur tentang desa.
“Saat ini, UU Desa
mati layu. Hanya semangatnya yang bergaung. Ini dikarenakan banyak peraturan turunan yang melenceng. Banyak hal-hal urgen dalam UU Desa yang dipotong dengan perangkat yang membunuh hakikat,” katanya.
Menurutnya, hakikat desa yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah
ingin mewujudkan desa yang maju, kuat dan demokratis. Meski kemudian ia
menyebutkan, banyak pihak atau oknum yang ‘menggelapkan’ hakikat keempat :
demokrasi dengan tindakan misalnya musyawarah desa yang sudah disetting
terlebih dahulu.
“Para pendamping desa harus mampu menjadi jembatan sosial bagi para
pelaku pemberdayaan masyarakat di tingkat lokal. Mampu mengisi ruang-ruang
kosong antara BPD dengan perangkat desa atau masyarakat dengan perangkat desa,”
ujar Sutoro yang berdiri di mimbar.
Ia menambahkan, untuk mewujudkan hakikat desa ada enam skema. Yakni, pertama negara mengakui dan menghormati
(azas rekognisi) eksistensi desa. Kedua, negara
memberikan mandat (subsidiaritas) yang berupa kewenangan lokal berskala desa
dengan dua inti yaitu kewenangan dan pembangunan. Kemudian, ketiga, negara memberikan redistribusi. Keempat, konsolidasi. Kelima, Fasilitasi. Keenam, hubungan antara warga dengan masyarakat untuk mewujudkan
demokratisasi. Menurutnya, masyarakat harus memantau dan berpartisipasi dalam
pembangunan desa agar penyerapan dana desa berjalan optimal.
Di akhir acara, dilakukan sesi diskusi. Kesempatan ini dimanfaatkan
oleh para pelatih maupun peserta pratugas untuk menyampaikan pertanyaan maupun
pengalaman praktik di lapangan. Kegiatan pratugas ini diikuti sebanyak 399
pendamping desa yang dilakukan selama 12 hari sejak 23 Oktober hingga 4 November
mendatang di Semarang. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar