PERUBAHAN adalah keniscayaan.
Tidak ada yang tidak bisa berubah. Semua bisa diubah, bisa ditingkatkan. Misalnya,
dari kurang baik menjadi baik, dan menjadi lebih baik baik lagi. Meskipun itu sulit atau berat, percayalah untuk hal baik pasti bisa!.
Asa ini yang saya coba tanamkan
sebagai seorang Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP). Tugas sebagai PDP tidaklah
ringan, harus mampu menjadi motor pengerak masyarakat berpartisipasi dalam
pembangunan desa. Sekaligus mengawal dana desa agar tepat sasaran. Di luar sana
banyak yang menunggu kehadiran pendamping desa turun, tapi di sisi lain masih ada
yang meragukan kemampuan korps ini.
Pelajaran dari Korsel
Pelajaran dari Korsel
Tenaga pendamping desa lahir dari
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengamanatkan perlunya hal itu.
Keberadaan pendamping desa (beserta Pendamping Lokal Desa dan Kader
Pemberdayaan Masyarakat Desa) menjadi sebuah gerakan pendampingan untuk
menjadikan ‘Desa Baru’ Indonesia yang Mandiri, Kuat, dan Demokratis. Proses ini
dikenal dengan nama Berdesa.
Lahirnya UU Desa ini membawa
semangat dan harapan baru pembanguan desa. Hal mendasar adalah Negara mengakui
dan menghargai eksistensi desa. Pengakuan ini membuat desa memiliki kewenangan
penuh untuk membangun desa. Dorongan untuk membangun desa ini seperti yang
terjadi di Korea Selatan lewat gerakan Saemaul Undong.
Seperti dikutip dari KOMPAS (27/10), disebutkan Saemaul Undong dirintis pertama kali tahun 1970 oleh mendiang
Presiden Park Chung-hee. Hebatnya, gerakan membangun desa ini masih berlanjut hingga
kini dengan jumlah anggota aktif mencapai dua juta orang. Secara harafiah, Saemaul Undong diterjemahkan sebagai ‘desa baru’ yang
bertujuan memberantas kemskinan dan memajukan masyarakat lewat pembangunan
desa. Persis seperti apa yang sedang dilakukan di negara kita setelah lahirnya
UU Desa, dua tahun berjalan.
Ketika Saemaul Undong dimulai kondisi ekonomi Korsel kira-kira seperti
Indonesia. Pendapatan per kapita hanya 90 dollar AS. Sekitar 70 persen rakyat
desa di Korsel yang bertani tidak mampu menghidupi diri sendiri, apalagi keluarga.
Untuk makan sekali sehari saja sangat sulit. Anak-anak tidak bersekolah karena
harus membantu orangtua bekerja.
Presiden Park mencanangkan
gerakan baru, Saemaul Undong bagi rakyat desa guna membangkitkan energi rakyat
yang terpuruk dan mendorong kemajuan desa. Secara konkret, pemerintah
membagikan 355 kantung zak semen. Kemudian desa penerima memutuskan sendiri
akan digunakan untuk apa semen-semen tersebut. Sebagaian besar desa menggunakan
semen bantuan untuk pembangunan infrastruktur pembangunan jalan desa yang
kala itu kondisinya sangat buruk.
Awalnya, rakyat skeptis. Mereka
menduga, pemberian bantuan semen untuk mengalihkan isu kelaparan yang
tengah mendera. Perlahan hasilnya mulai terlihat setelah 10 tahun. Jalan yang
bagus dan infrastruktur yang mendukung membuat penghasilan petani bertambah.
Mesin pertanian mulai masuk ke desa. Petani mulai bisa membeli televisi dan
mobil dari jerih payah bertani.
Mulai tahun 1980-an, Korsel bukan
lagi negara miskin. Negara ini bahkan bisa menjadi salah satu dari empat negara
Asia yang maju. Pada kurun waktu ini, gerakan Saemaul Undong mulai memfokuskan kampanye ‘keramahan, kebersihan,
dan ketertiban’. Hasilnya kemudian terasa, ketiga sikap ini seolah sudah
menjadi bagian dari diri orang Korsel. Itu kisah di Korsel, bagaiamana di Indonesia?
Kondisi Indonesia
Gerakan Saemul Undong turut menginsipirasi pembangunan desa di Indonesia. Bila di Korsel, pemerintah membagikan bantuan zak semen, pemerintah negara kita memberikan bantuan uang. Jumlahnya besar dari setengah miliar mencapai hampir satu miliar tiap desanya. Uang bantuan tersebut boleh digunakan untuk membiayai pembangunan di desa dan kebutuhan masyarakat desa yang menjadi kewenangan pemerintah desa. Lahirnya UU Desa memberikan kewenangan desa untuk membentuk Badan Usaha Milik Desa serta kerjasama antar desa degan pihak ketiga supaya mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sungguh, desa benar-benar menjadi subyek pembangunan bukan lagi obyek semata.
Dengan adanya pembangunan di desa, diharapkan masyarakat desa bisa mengambil manfaat langsung misalnya terbukanya lapangan kerja, terlayaninya kebutuhan dasar masyarakat, serta terjadi perubahan perilaku, sikap, dan keterampilan masyarakat desa lebih baik.
Kisah sukses gerakan ini mengirimkan pesan bahwa perubahan itu
memungkinkan untuk dilakukan. Kunci suksesnya tak sekadar pada adanya gerakan
semata, namun butuh dukungan dari pemerintah dan warga. Menurut saya, semua
pihak khususnya pelaku kepentingan terkait desa harus satu visi bahwa
pembangunan desa itu penting dilakukan. Butuh revolusi mental.
Sayangnya, seperti dikatakan
Doktor Sutoro Eko, salah seorang penggagas UU Desa, saat ini semangat
implementasi regulasi tersebut seolah mati layu. Ini dikarenakan menurutnya,
adanya peraturan turunan dari UU Desa di tingkat provinsi atau kabupaten yang
justru menghambat implementasi secara teknis. Kemudian di sisi lain, kesadaran
untuk membangun desa dengan pola lama harus diakhiri. Pola lama maksudnya membangun
desa tidak sesuai prioritas, adanya praktik korupsi/mark up, asal dana
terserap, kurangnya transparansi dalam penggunaan dana, dan praktik jelek
lainnya.
Bila pola lama ini masih saja
berjalan dan pendamping desa tidak mampu menjadi agen penggerak maka tujuan
mulia pendampingan desa bisa tidak terwujud. Bila Korsel bisa berubah dengan
gerakan Saemaul Undong, tentu kita bisa berubah juga lewat pendampingan desa.
SALAM MERDESA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar